Jumat, 05 Agustus 2011

MTM (Medication Theraphy Management) dari sudut pandang Farmasis

dari blog seorang farmasi di AS sana (negara bagian Ohio tepatnya)

http://eric-rph.blogspot.com/2011/03/insights-from-fellow-pharmacist.html

opik terjemahin nih, dan persingkat , biar kita ga dibutakan dengan janji2 palsu dan idealita, tapi kita juga harus melihat realita, jangan cuma ikut2an


Saya setuju bahwa Sekolah-sekolah farmasi yang memulainya tapi mereka memulainya tepat saat mereka bermetamorfosa menjadi sekolah pelatihan MTM tanpa mencari apakah MTM itu model praktek kerja seorang farmasis yang dapat diterapkan pada profesi.

Mereka begitu haus akan sebuah model untuk praktek profesi, jadi mereka menerima model bikinan Hepler dan Strand (orang2 yang mula2 mengajukan MTM) tanpa melihat dan meriksa terlebih dahulu apakah model ini bisa diterapkan di lapangan.

Hepler dan Strand membawa "logika farmasi" pada awal 1990-an pada keputusan terakhirnya. Secara kasar, sejak itulah "karena farmasis punya pendidikan obat yang paling resmi, mereka seharusnya menangani terapi obat". Pengumuman soal "Pharmaceutical Care" yang menyebutkan farmasis meti menerima peran ini ada di halaman pertama, tapi di halaman ketiga, tertulis bahwa apa yang mereka usulkan dan percayai menabrak praktek profesi kesehatan lainnya.

Masalahnya, para dokter sudah menangani terapi dan sebagaimana yang telah kita lihat, merekalah yang memutuskan siapa yang ikut campur urusan mereka dan siapa yang tidak. Asisten dokter dan perawat (dengan sedikit perang) melakukan lebih banyak manajemen terapi daripada farmasis. Apa yang kita sekarang sebut MTM adalah aberasi yang telah dimodif agar informasi dapat didapatkan farmasis. Kita tak bisa "menangani terapi" tanpa informasi lab dan pemeriksaan -- medical chart.

Sebuah artikel baru dari 'Chain Store News' menceritakan farmasis K-Mart yang "menyebarkan Injil" MTM. Salah yang teknisi (Asisten apotekernya kalau disini)-nya harus lakukan adalah menelpon dokter untuk mencari hasil lan sebelum dia bertemu pasien untuk mendiskusikan terapi mereka.

Lalu mengapa lulusan sekarang pesimis dan tak antusias. Mungkin mereka melihat kenyataan yang ada. Kau pernah menulis soal med rep yang menghilang, itu karena mereka menghabiskan waktu pada yang tepat - sang penulis resep. Baik perusahaan farmasi maupun dokter takkan memberikan manajemen taerapi pada farmasis.

Perusahaan farmasi mendukung PBM dan order pos mereka. Aku tahu kalau kitabisa lihat para farmasis bersama-sama dan bersatu. Tapi lihat majalah "Drug Topics" seorang farmasis RS bilang ke David Stanley bahwa dia tak bisa mengeluh tentang farmasi retail dan fakta kau harus mengisi 1000 resep sehari adalah karena kau mata duitan. Ini adalah tanda kurangnya pengertian, empati dan kesatuan.

Bahkan Komite nasional pun tak menghargai kita. Dokter berhak melihat siapa yang dapat narkotik, dari siapa dan dari mana, sedangkan farmasis tidak. kita dihalangi dari info yang berguna, yang bisa membuat kita lebih aktif dan berkontribusi.

Tidak hanya soal pelacakan obat yang rawan ketergantungan, informasi kesehatan saja tak tersedia untuk kita, jadi MTM nyata takkan ada. Jika kita mendapatkan sesuatu, itu tak cukup bagi kita untuk memutuskan

1 komentar:

  1. apalagi di Indonesia, butuh waktu dan peran nyata dari Farmasis ini untuk mulai mau bergaul dengan tenaga medis. tapi menurutku MTM akan tetap bisa dipraktekan asalkan ada dukungan untuk melakukan perubahan yang ku rasa masif.
    Thanks for the article

    BalasHapus